Bendera di Tiang Sekolah

Awan – awan putih beterbangan di langit pagi, semburat sinar mentari menyapaku hangat dibalik keheningan pagi, menerpa tubuhku dan juga berates – ratus temanku yang berdiri kaku, berbaris rapi di tengah halaman yang cukup panas, sekolahanku.

Tanganku tegak lurus dengan bahu, memberikan penghormatan kepada bendera merah putih yang telah mengangkasa lewat bantuan para paskibra perkasa. Lagu Indonesia raya menggema di setiap telinga ynag memandang ke arah bendera. Itu adalah upacara peringatan hari pendidikan nasional yang kujalani untuk kesekian kalinya.

***

“Amanat pembina Upacara”, ucap protokol dengan nada penyiar radio. Aku menyilangkan tanganku di belakang punggung yang telah basah akibat keringat yang muncul tiada henti dari pori – pori kulitku akibat sengatan mentari pagi yang penuh akan pro Vitamin D yang nantinya akan diubah menjadi Vitamin D bersama enzim trombokinase dalam tulang, sehingga membuat tulang menjadi kuat dan sehat.

“Pendidikan merupakan suatu hal yang harus didapatkan oleh setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia, hal ini berdasarkan Undang – undang dasar 1945 dalam lingkup pasal 28 tentang hak asasi manusia”, ucap pembina upacara dengan suara lantang. Amanat yang sama, topik pembahasan yang sama, serta redaksi kata yang sama, yang selalu aku temui dalam setiap even upacara bendera tanggal 2 mei.

Hingga salah satu temanku hafal dengan apa yang diucapkan oleh pembina, sehingga aku dan temanku yang kebetulan berbaris paling belakang menjadikannya sebagai hiburan di tengah kebosanan, kejenuhan, dan panasnya matahari yang mulai meninggi lewat peragaan lipsingnya.

***

Waktu itu benar – benar momen yang membosankan bagiku, sehingga aku pun hanya bisa berdiri termenung secara paksa, dan sekali – kali mengaburkan pandanganku dari pembina upacara. Sapuan pandangan bola mataku menyisir semua objek yang ada di sekolah, mulai dari tamannya yang sejuk, tiang basket yang berdiri kokoh, gerbang sekolah yang mulai lapuk, hingga kepada seseorang remaja seusia denganku yang bersandar di balik jeruji gerbang dengan menenteng koran kota, memandang ke arah tiang bendera.

Hal itu sontak membuatku tertarik, lebih menarik dari untaian syair panjang pembina upacara yang stagnan dengan bahasa yang ia ucapkan secara terus – terusan. Hingga upacara selesai, aku tetap memperhatikan lelaki tersebut yang raut mukanya telah berubah, dari standar menuju ekspresi yang memudar. Ia melangkah pergi membelah kesibukan pedagang, meninggalkan tiang bendera yang telah lama ia pandang.

***

Matahari telah berada di ubun – ubun kepala, aku melangkah di koridor kelas yang telah ramai akibat bel sekolah yang menderu di setiap sudut koridor. Ku langkahkan kedua kakiku dengan irama yang cepat nan dinamis menyusuri pintu – pintu kelas, melewati teman – temanku yang berjubel keluar kelas.

Hawa panas menyapaku selepas aku tiba di gerbang sekolah, aku melihat orang yang sama yang aku lihat pagi tadi. Berdiri termangu memandang tiang bendera, dengan bendera berkibar tertiup angina di langit yang biru. Karena terlampau penasaran, aku pun mencoba mendekatinya.

Di bawah terik matahari teriknya matahari siang, kupegang tangannya yang legam, penuh dengan debu aspal jalanan perkotaan. Ia tersentak kaget ketika sadar seseorang sedang meraih tangannya. Aku tersenyum ramah kepadanya, ia pun mengalihkan pandangannya ke wajahku yang rekah akan senyuman. “Apa yang kamu lakukan ?”, tanyaku penasaran.

Ia hanya memberikan tatapan dingin ke keningku kemudian turun ke mataku, melepaskan peganganku dan berlari melawan angin, meninggalkanku yang terheran – heran karenanya. Membelah kesibukan trotoar, aku pun melangkah pulang dengan ditemani perasaan keheranan akibat ulah remaja paruh baya tersebut yang masih saja berputar di otakku, sesibuk Dinas Pekerjaan Umum yang menguras air got guna meghindari banjir di musim hujan yang akan datang.

Ke esokan harinya cuaca mendung menghampiriku yang berdiri di ujung koridor kelas, dengan latar kesibukan habis sekolah dengan didukung suasana temanku yang berhamburan bak sinar gamma pada prototype milik JJ. Thomson ketika dalam usahanya menemukan muatan proton pada sebuah atom.

Aku kembali bertemu dengan remaja tersebut yang masih saja berdiri di luar pagar sembari memandang kibaran kibaran merah putih di langit biru kelabu, seakan tak lekang oleh waktu.

Ia masih saja berdiri walau awan hitam telah menumpahkan seluruh isinya, membasahi semua yang ada. Kembali aku mencoba untuk mendekati remaja tersebut dengan berlari – lari kecil melintasi lapangan basket yang penuh dengan genangan air, dengan meringkuk di balik tas yang kugunakan untuk memisahkan diri dari air hujan.

Ia sadar akan kedatanganku, walaupun ia sedang memandang kelabu, secara reflex ia tetap tahu dengan kedatanganku, hingga ia berlari sekencang – kencangnya menembus hujan. Kelewat penasaran, aku mengejar remaja tersebut melintasi trotoar di tengah – tengah air hujan yang kian deras. Badanku basah kuyub seketika, akibat genangan air hujan yang yang dilindas oleh bus tanpa ampun yang melaju kencang seakan tak peduli keadaan.

Aku pun tetap mengejar remaja tersebut melewati garis kontour perkotaan hingga sampai ke dataran hijau di tengah kota. Akhirnya aku pun berhasil menangkap tubuhnya yang basah kuyub akibat hantaman air hujan. “Kenapa denganmu ?”, tanya dengan nada kecapekan. Ia hanya diam seribu bahasa sembari mencoba untuk melepaskan diri dari cengkraman tanganku

“Tenang, aku hanya ingin tahu tentang dirimu serta mengapa engkau selalu memandang ke tiang bendera sekolahanku”, ucapku padanya dengan nada yang tak beraturan. Ia memandangku tajam dengan melepaskan tanganku kasar. Ia melangkah pelan menuju batang pohon yang telah lapuk dimakan usia, dan duduk di atasnya.

Ia mengisyaratkan kepada batang pohon tersebut untuk lebih bekerja keras karena akan menopang kami berdua yang mana aku telah melangkah dan menduduki batang pohon tersebut. Ia tetap hadir dengan pandangan yang dingin kesekujur tubuhku yang yang telah terbujur kaku, menggigil kedinginan. Saraf sensorikku mengirim impuls – impuls informasi kepada otakku yang ternyata ia menginginkanku untuk duduk lebih dekat dengan tubuhnya. Akhirnya kata – kata pun keluar dari mulutnya yang biru kedinginan.

***

Angin musim hujan setia menemaniku yang mana aku sedang menangis sedih mendengar untaian kata yang keluar berurutan dari mulutnya yang biru. Penjelasan tentang alasan mengapa ia selalu berdiri di balik gerbang sekolahku setiap waktu. Sebuah cerita yang menyedihkan, yang kudengar, kini aku putuskan untuk berbagi kepada pembaca semua.

Ia merupakan anak korban kerusuhan Mei 98. Demo besar – besaran yang dilakukan oleh para mahasiswa guna menuntut reformasi pemerintahan, serta penjarahan yang tiada habisnya

Membuat ia kehilangan orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang. Ketika itu bola matanya menjadi saksi bisu, merekam setiap detik peristiwa tersebut, hingga pembunuhan kedua orang tuanya yang dilakukan oleh kelompok bermasker seingatnya. Ia hanya bisa merengek sedih melihat hal – hal yang seharusnya belum pantas dilihat oleh tubuh mungilnya.

Ia siuman 2 minggu kemudian di rumah sakit akibat hantaman keras di punggung lunaknya, syukur ia masih bisa merasakan hidupnya yang tersisa sebatang kara. Ketika ia melintasi jalan Semanggi tempat sekolahku berdiri kokoh, neuron otaknya membuka lembaran pahit masa lalunya yang telah dilupakan oleh waktu. Ia tidak meminta harta dan takhta, namun ia hanya menginginkan pendidikan untuk menyambung hidupnya yang kini tinggal sebatang kara, yang hingga sekarang tidak ada kejelasan tentang nasib para korban dari kerusuhan Mei 98.

Hal ini sedikit banyak menjadikan cermin bagi pemerintah bahwasanya Undang – undang Dasar 1945 sebagai salah satu falsafah negara, yang telah disepakati 70 tahun yang lalu, kini hanya dibuat sebagai sebuah formalitas belaka. Pada UUD 1945 termaktub pada pasal 28 A hingga J mengenai hak asasi manusia, khususnya pada pasal 28 C ayat 1, yang memiliki inti bahwasanya setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

***

Sore itu, langit kota serta bumi yang kupijak menjadi saksi, melihat cerita pilu dari seorang remaja nan lara, menjadi saksi luapan air mata kesedihanku, seakan bumi dan langit ingin memaki para penguasa yang telah lalai akan janjinya, akan tugasnya, serta telah kehilangan akal sehatnya.

Kini yang tersisa hanyalah anak – anak seperti remaja paruh baya yang duduk disampingku, yang mungkin jumlahnya mencapai ribuan anak yang menginginkan keadilan tuhan, akan pendidikan yang telah dijanjikan oleh selembar kertas berjudul UUD 1945 yang telah dirubah selama 4 kali, tanpa menimbulkan efek yang berarti.

Kini aku sadar, tiang bendera di sekolahku telah memberikanku pesan, serta pelajaran mengenai arti dari sebuah kehidupan untuk terus menuntut ilmu, karena diluar sana masih banyak yang masih ingin mengenyam bangku sekolahan yang kini masih aku pegang, dengan satu tangan kemalasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *